"Berani mengenal sastra berarti berani berperang dengan kata mewakili raga. Berani merampas rasa lewat bahasa.."

Selasa, 31 Mei 2011

perempuan abu-abu

Engkaulah perempuan yang merintih dalam derai tawa
dan menari dalam rana
Setiap senyummu adalah luka yang bersarang terlalu lama hingga orang2 melupakannya.
Helai bait syairmu mendayu pilu, melolong sunyi pada mayat-mayat harapan semu.

hahaha..
Engkaulah perempuan tiada hitam yang kuat menerjang pedih, tiada putih yg lembut membasuh perih.
Hanya abu-abu hiasi dingin harapmu.
Dan engkaulah perempuan yang terlena dalam bujuk angin dan terlanjur ikut mengalir bersama desaunya menuju ujung lautan.
Sementara engkau ringkih, terkikis habis, ia pun kan beranjak mencari hati lain tanpa kata dan bicara.

Pujalah ia, maka engkau akan buta dan hanyut dalam kilaunya, dan nantilah ia hingga mentari di balik lautan sana kembali esok harinya.
Engkau akan menemukan jejak-jejak hampa yang ia ukir pada lembaran tubuhmu, sebuah jejak abadi pertanda ia akan pergi tanpa kembali, dan biarkanmu menanti bersama ratapan air abu-abu yang mengalir tiada henti dari mata abu-abumu itu..



kamar kos, 1 juni 2011

Minggu, 22 Mei 2011

Sebuah kerinduan dari jurang tanpa ujung

26 April 2011 adalah awal dari spekulasi kegundahan, metamorfosis sebuah harapan menjadi beribu tuntutan yang telah lama dititipkan dan sekarang siap ditimpakan tepat diatas kepalaku. Tidak pernah ada ruang lapang tanpa tekanan disini. Tekanan itu berhembus dari segala penjuru dan menghujam setiap inci pikiranku. Aku benar-benar kalah ketika mereka, orang tuaku pun ikut memaksa aku untuk berpacu, cambukan-cambukan perih itu telah dilontarkan agar aku segera berlari sementara aku masih bersimpuh dengan kedua kaki yang lumpuh. Aku hanya butuh sedikit ruang untuk sekedar bernafas lega sebelum aku benar-benar ikut berputar dalam roda besi kehidupan.
Saat aku memandang langit, kutanamkan dalam hati bahwa aku adalah seorang yang kuat bahkan hanya untuk menghadapi tekanan ini. Aku pun berdiri tegak menatap ombak yang menghatam karang dengan bencinya. Namun, kadang aku ingin lari, terbang dan menghilang ke sebuah dunia kosong tanpa ruang di luar sana dan tinggal sejenak demi mengumpulkan sisa-sisa keyakinan akan kekuatan ini.
Berniat juga aku untuk melabuhkan perih ke hatimu. Ingin aku menitipkan bulir airmata ini pada cintamu, mengurai alur cerita lebur ini dalam pelukanmu. Namun engkau, tanpa kata telah mencoba meninggalkan hatiku yang saat ini masih dirayu rana. Kau pahat luka perih menganga, entah dengan sadar atau tidak sengaja. Seharusnya kau disini saat aku dikuasai bimbang dan luka, tapi ternyata hatimu tidak memiliki tempat bahkan untuk sekedar melawat perihku. Engkau tetap menari indah dalam mengukir beribu kisah bersama banyak hati yang memujamu dan membanggakan alur simfonimu.
Aku adalah pelabuhan rindumu yang berbalut nafsu beribu rayu, dan aku selalu memang harus hanyut setiap alur cintamu yang hampir semu. Ada sejumput janji dan secuil rencana yang berusaha engkau buang jauh-jauh bersama segala senyum hampamu. Namun aku, berbekal sejumput janji dan secuil rencana itu masih terus mencoba mengayuh langkah menuju muara kasihmu.
Kini aku tengah berdiri di tepi jurang. Dingin dan gelap dibawah sana. Cadas-cadas tajam garang mendongak keatas seolah mengancam pada kematian menyakitkan. Ingin aku mencampakkan tubuhku dan biarkannya lebur oleh cadas-cadas ganas dan kelam.
Lamat-lamat aku melihat seseorang mendekatiku dan tersenyum. Kupertajam penglihatanku dan memastikan bahwa itu kau. Selalu dengan senyum yang sama seolah tiada yang terjadi diantara kita dan saat itu mataku tak bisa lepas dari matamu. Segala rasa membuncah mencuat naik ke kepala, ingin aku melenyapkan rindu dendam ini bersama dirimu dalam cadas tajam dibawah sana. Dan aku merasa jari-jariku telah ditumbuhi cakar-cakar yang lebih tajam dari pedang. Aku hilang rasa dan mencabikmu hingga kau hancur berkeping-keping .
Kau pun telah mati, tubuhmu telah cerai berai oleh cakarku, matamu telah tercabik tiada berbentuk lagi. Tapi senyummu masih disana, kenapa aku tidak bisa mencabiknya???
Aku menjerit, melolong memanggil namamu dengan cacian tiada henti namun yang menjawab hanyalah gema dari dinding jurang kelam itu, sementara senyummu telah berubah menjadi tawa yang berputar dalam akalku.
Mungkin aku gila, ya, kupikir aku memang sudah mulai gila. Sementara tawamu masih menggema berputar bersama rasa rindu dendam yang tersimpan dibalik beribu rana dan luka.

Mei, 2011